Kitalah belahan jiwa yang utuh dalam kebebasan.
Pada suatu ruang yang hening di salah satu sudut ibu kota, ada dua pribadi yang mampu menghidupinya menjadi tempat yang penuh keceriaan. Ruang itu menjadi saksi mata kemesraan Imam dan Nadhira yang akan terekam dari balik lensa.
Keduanya memilih untuk mencipta momen yang terkesan lebih intim dan personal, berada di tempat yang tanpa sela menjadikan kedekatan keduanya tercermin sempurna di setiap gaya geraknya. Seolah menyatakan pada mata-mata yang menyaksikannya, bahwa dalam pikir mereka saling berbagi ruang, dalam hati mereka saling menyimpan rasa, dan dalam tingkah mereka saling menjadi utuh.
Berhias pakaian yang tak lepas dari sentuhan tradisional, namun tetap menghadirkan kesan anggun, Imam dan Nadhira berbagi tatap yang lembut dan penuh kehangatan. Seolah menyatakan diri siap memiliki satu sama lain untuk hari-hari di depan mata. Tak lupa membawa serta zaitun yang menyimpan makna mendalam bagi mereka berdua selayaknya ornamen yang tak lepas dari ingatan.
Tak hanya itu, lewat gambar-gambar yang menangkap kebersamaan Imam dan Nadhira, seakan-akan irama klasik hadir berpantulan di dindingnya. Mereka saling tertawa, menari, dan bebas berekspresi. Dengan berlapis pakaian monokromatik, menunjukkan bahwa dalam hitam-putih mereka tetap saling berbagi warna.
Lain waktu, mereka masih menjadi pribadi yang sama. Masih menjadi Imam yang dalam tegas tatap matanya, menemukan lembut dalam manik mata Nadhira, pun pula sebaliknya. Pekarangan yang rindang dengan pepohonan, di antara bayang-bayang yang mencoba bersaing dengan mentari, serta waktu yang dibagi bersama segelintir teman terdekat itu seakan membuktikan bahwa Imam dan Nadhira adalah belahan jiwa yang utuh dalam kebebasan untuk kebersamaan yang lebih lama.