Karena hangat satu sama lain tak akan berhenti bersenandung.
Segalanya terasa tepat bagi Vincent dan Elisabeth untuk memilih satu sama lain. Sepenggal cerita mereka pun terabadikan sempurna kala mereka memilih Kyoto menjadi saksinya.
Mereka memulai perjalanan yang erat dengan sentuhan budaya Jepang pada pagi yang cerah. Sebuah persimpangan jalan menjadi titik perjumpaan di mana Vincent menyeberangi lintasan kereta api, menjemput Eli yang menanti di sisi jalan lainnya. Dilatarbelakangi lalu lalang kereta, mereka saling bertukar tatap sebelum memutuskan memasuki stasiun, membiarkan diri berkelana dengan gerbong besi yang membawanya pada kota tua Jepang.
Peron tidak begitu ramai, gerbong kereta pun tak banyak penumpang. Keduanya duduk berdampingan menikmati pemandangan dari balik jendela. Meski cepat kereta melaju, waktu terasa berputar lambat di sekitar mereka berdua. Hingga tanpa disadari, Vincent dan Eli tiba menjelang sore di pusat ibu kota masa lampau itu, mentari masih mengiringi perjalanan mereka.
Berkeliling di antara kuil kuno, berlapis pakaian khas Jepang, Vincent dan Eli menapaki kaki mereka bersama. Apalah arti berada di Kota Seribu Kuil, jika mereka tak mengunjungi salah satunya dan menjalani ritual layaknya sepasang kekasih di masa remaja. Melempar koin dengan penuh harap dan membunyikan lonceng bersama-sama seolah berdoa pada semesta untuk sebuah selamanya.
Memutari kota yang begitu asing, Vincent sempat tersesat sendirian di sudut tradisional itu. Namun, seakan hati tahu ke mana harus kembali, ia menemukan jalan pulang ke pelukan Eli. Lalu malam, kembali mereka lewati bersama, berjalan di antara gang dan cahaya remang, sebelum akhirnya dalam sunyi mengantar diri pergi dari Kyoto yang akan lelap.
Esok hari, dari titik Ibu Kota mereka berkendara menghampiri Fuji. Berdua mereka menikmati indah pemandangan gunung agung itu pada musim yang berangin. Mengayunkan langkah kaki ke sana kemari sebelum berhenti untuk santap siang bersama. Setelahnya, pada pekarangan tepi danau, mereka bermain, bercanda tawa, berlarian dan seolah menari di bawah gugur daun menguning. Sampai tiba waktunya mentari hendak pamit pergi ke ufuk barat, mereka masih dalam peluk dan genggam satu sama lain. Meski hangat dari sang surya selesai menemani kebersamaan mereka, Vincent dan Eli tahu hangat satu sama lain tak akan berhenti bersenandung.