Kini kita saling membagi ruang dalam satu dunia.
Dua pribadi yang terkesan serupa, kali ini tak hidup bagai dua kutub magnet yang sama. Dalam sosok Stenly yang tenang, Sylvia berhasil melabuhkan hatinya. Mereka saling menyambut satu sama lain dalam dunianya masing-masing, dengan kehangatan yang mencipta kenyamanan.
Meski sama-sama lebih menikmati kesendirian di antara keramaian, mereka memilih teduh tenteram dalam kebersamaan. Keduanya melebur dan mampu mencairkan setiap gunung batu es di dalam ruang pikir masing-masing seolah satu sama lain hadir bagai pemancar cahaya mentari.
Musim gugur di Negeri Sakura itulah yang menjadi salah satu saksi. Memberi ruang bagi keduanya berbagi rupa kasih sayang. Di pinggiran kota dan di tepi jalan, mereka menghabiskan hari. Di bawah dedaunan ginko yang memantulkan sinar menguning sang surya, mereka mampu berbagi tawa yang hanya mereka pahami.
Terduduk di tepi danau, berlarian di taman nan luas, mereka menikmati waktu seolah menyelami dunia imaji masing-masing. Berkelana di tengah kota, dan menyusuri pesisir pantai, mereka menakluki bising dan tenggelam dalam tautan tangan berdua.
Stenly dan Sylvia yang kadang hilang dalam pikirnya sendiri, kini berani membuka pintu, agar satu sama lain memasuki ruang yang mereka bagi untuk dirinya sendiri. Menorehkan warna, menggoreskan tinta, berisi cerita yang menyambung satu sama lain. Dan pada tenggelam matahari petang itu, langit Jepang menjadi saksi kebersamaan Stenly dan Sylvia untuk saling membagi ruang dalam satu dunia yang sama.