Ray dan Abel — Jakarta

Kita, percikan cerita yang kian menyala

Ray dan Abel seolah tumbuh besar berhias masa lampau yang menjadikan keduanya memiliki ketertarikan terhadap segala sesuatu di tahun 90an. Lantas kala keduanya bersatu, mereka bagai pertemuan zaman nan elok.

Dengan rupa ala era pada tahun menjelang penutup milenium kedua, Abel membagi cerah yang dinikmatinya sehari-hari dalam kebersamaannya dengan Ray. Sosok yang lebih mengagumi sentuhan klasik beriring nuansa yang seperti malam.

Tanpa perlu banyak bicara, mereka menikmati sunyinya masing-masing saat terduduk dan berdiri berdampingan. Menjumpai nyaman yang ada di sekitar hening, yang tidak akan terasa asing.

Lain waktu mereka layaknya dua insan yang jiwanya bebas, yang ketika menyambangi satu sama lain, berdua mampu menghidupi kekosongan yang terasa sepi. Di antara tegak tembok berdiri yang terkesan renta dimakan waktu, pesona keduanya tak habis oleh putaran zaman. Indah dan mewarnai tiap sudutnya. Mereka menyelami kebersamaan, dengan berputar-putar menari di dalam ruang tak bersekat, bersepeda seolah tak terhalang serupa luas jalan, berbagi tawa di antara anggun sinar mentari yang menyusup di balik jendela.

Kini Ray dan Abel siap mengukir cerita yang tumbuh dalam ikatan yang khas bagi mereka, terlindung harap ‘tuk sebuah frasa selamanya. Bagi Ray, keberadaan Abel bagai api yang tak kunjung padam. Abel pun ingin hangat yang merambat lewat sekujur tubuhnya memeluk raga Ray sekarang dan hingga sepanjang masa. Berdua, mereka ialah percikan cerita yang kian menyala, beriring detak untuk tiap detik bersama.

\

KARYA SEBELUMNYA
KARYA SELANJUTNYA
tulis dan tekan enter