Dan pada dialah, aku bersandar.
Dalam rangka menyusun cerita tentang mereka yang tak lagi dua melainkan satu, Gazza dan Sacha sepakat menjadikan kota yang disebut istimewa itu tempat mereka menjalin cerita.
Bermula di sebuah rumah, mereka mencicipi sedikit saja cerita yang ‘kan tiba nantinya. Menyambut sapaan pagi yang menyusupkan hangat melalui dedaunan dan menembus kaca, ke dalam genggam tangan yang saling bertaut. Canda tawa yang melupa waktu di siang hari, menjadikan pekarangan serasa lebih bernyawa. Lalu menyelam dua bola mata satu sama lain kala lembayung senja mengiringi tarian pada ruang tengah berhasil melengkapi cita rasa dalam cerita mereka.
Tak hanya bangunan beratap tradisional itu yang mampu menjadikan rasa pulang semakin utuh. Langkah-langkah menyusuri jalan kota dan juga singgah pada gumuk pasir yang dilaluinya bersama, adalah saksi nyata bahwa di mana pun berada, satu sama lain-lah tempat mereka kembali.
Walau begitu luas padang pasir ini mampu dijelajahi, hanya tatap mata Sacha yang ingin Gazza singgahi. Keduanya saling menemukan dalam kejauhan. Bahkan bayangan di bawah terik mentari kala itu menyentuhkan hangat pada jiwa satu sama lain dengan caranya sendiri.
Maka, ketika Sacha memandang punggung Gazza lebih lama, hembus angin dan alunan pasir berbisik: pada satu sama lain-lah mereka akan bersandar, pada dekap tubuh keduanya-lah mereka akan berlari, dan pada masa depan bersama-lah mereka akan saling menjadi kuat satu sama lain.