Pendar yang tak pudar.
Di sebuah hotel bernuansa klasik, Roy dan Dira berbagi tawa dalam kebersamaan yang hangat. Pendar kebahagiaan tampak jelas dari sorot mata mereka, sebab inilah momentum yang telah lama mereka nantikan.
Bersama Roy yang berjiwa bebas, Dira siap merangkai cerita baru. Berbalut terusan bermotif yang sederhana namun tetap elegan, Dira terlihat menikmati momen demi momen di antara cahaya lampu lorong yang terlihat magis. Sebab ia tahu, di sudut itu, ada tangan yang menanti untuk disambut. Tangan ke mana ia selalu bertaut.
Ruangan dengan aksen benda-benda klasik menambah kesyahduan di antara dua jiwa. Sekali waktu, mereka saling melempar canda, menyemai keakraban yang jujur dan sederhana.
Lantas begitulah Roy dan Dira akan melalui hari-hari bersama, dengan diri yang sama-sama diterima utuh. Sebab, di hadapan masing-masing, mereka tak perlu menjadi orang yang asing. Mereka bebas menjadi diri sendiri.
Waktu berjalan dalam suasana yang menyenangkan, dan mereka pun duduk di salah satu sudut ruang. Roy lantas mengeluarkan kamera saku miliknya. Ia mengambil potret Dira—seolah tak mau melewatkan waktu tanpa menjadikan cerita itu abadi dalam kamera kecilnya. Setelah itu, suasana menjadi semakin akrab. Berteman sofa dan lampu temaram, mereka saling berbagi cerita.
Pada momen itulah, Roy dan Dira semakin sadar, ada pendar yang tak pudar. Bak lampu-lampu lorng yang tak letih menerangi ruang, mereka akan selalu berbagi pendar, dalam kebersamaan di hari-hari mendatang.