Bersama, kita kembali bersinar untuk selamanya
Banyak yang bilang masa putih abu-abu ialah masa tumbuh kembangnya asmara. Dari jatuh cinta hingga patah hati, dari sekadar tambatan hati hingga mungkin mendapati belahan jiwa.
Ditto dan Widia mungkin satu dari sekian pasangan remaja yang berhasil menemukan pasangan sepanjang usia di masa itu.
Namun sebagaimana sebuah kisah klasik, segalanya tak semulus yang diharapkan. Mungkin karena pada masa muda itu, keduanya masih terbelenggu ego, masih terpikat pada idealisme, dan terjerat jebakan waktu.
Tapi tidak lagi kini. Setelah jarak dan segala mimpi mencoba mengelabui dan bermain-main di antara mereka, Ditto dan Widia pun akhirnya menemukan makna kasih yang sejati. Berdasar renjana yang tulus murni, berdua memilih satu sama lain kembali merengkuh jiwa untuk pulang ke hati masing-masing. Garis hidup menggoreskan keduanya pada perjumpaan lagi dan lagi, hingga mungkin frasa berpisah akhirnya menyerah hadir di antara mereka.
Dan melalui gambar-gambar manisnya kebersamaan mereka di sebuah penginapan terurai jelas. Pada lorong-lorongnya mereka berdansa dalam pelukan. Di bawah pendar lampu yang temaram, Ditto mengamati tiap garis wajah Widia yang terpantul cahaya. Membalas tatapan itu, dalam hati Widia menyimpan mimpi-mimpi untuk masa depan yang selamanya utuh bersama Ditto. Dan kini, di balik jendela di mana pijar mentari menyusup, keduanya dalam hening berbagi sandar. Siap menyinari hari satu sama lain.